
TOETANG, TATO DAYAK NGAJU
Penamaan Biaju, Ngaju dan Dayak Ngaju[1]
Orang Dayak Ngaju yang kita kenal pada masa kini, dalam literatur literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju.
Dalam Hikajat Banjar – literatur Melayu yang ditulis pada masa-masa awal kesultanan Islam Banjarmasin yaitu sekitar pertengahan abad 16 (Ras, 1968: 196; Hall, 1995: 489)- terminology Biaju dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras, 1968: 336). Sungai Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju Kacil Sedangkan sungai Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama sungai Batang Petak (Ras, 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan kawasan tempat tinggal orang Ngaju disebut Biaju (Ras, 1968: 408, 449).
Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju, tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai[2] yang secara ontologis merupakan bentuk kolokial dari bi dan aju, yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju (Schärer, 1963: 1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai (Riwut, 1958: 208).
Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang Melayu Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang dari Cina[3], Inggris[4], Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt, 1880; Beckman 1718).
Catatan di atas geladak kapal dan bersumber dari mulut penutur asing itu tentulah bias dan sangatlah berbeda dari catatan seseorang yang bertemu langsung dengan orang Dayak Ngaju. Antonino Ventimiglia, seorang pastor kebangsaan Portugis, yang diam, tinggal dan hidup bertahun-tahun di tengah orang Dayak Ngaju, memakai kata Ngaju dan tidak Biaju. Ketika berkirim surat, ia melaporkan bahwa ia tinggal di satu wilayah yang bernama Rio Ngaju atau Sungai Ngaju (Ferro [1690]1705 via Baier 2002; Demarteau, 2006: 4).
Pada masa awal, pemerintah kolonial Belanda di Banjarmasin juga memungut istilah Biaju begitu saja dan memakainya sebagai istilah teknis dalam tata administrasi kependudukan dan laporan-laporan. Karena itu dalam literaturliteratur dan arsip-arsip Belanda sebelum abad 19, istilah Biaju dipakai sebagai istilah generik atau kolektif.
Biaju dipakai dalam pengertian Dayak secara umum, yang dipukul rata sebagai Ngaju, karena itu kata Ngaju, dalam literatur-literatur tersebut, juga bisa berarti orang Ma’anyan dan Bukit (Ave, 1972:185).
Generalisasi semacam ini tampak dari pembagian suku yang dipakai oleh Tjilik Riwut (1958). Karena memakai sumber-sumber sebelum Perang Dunia Kedua yang memang cenderung pada generalisasi (1958: 190, bdk. Nila Riwut 2003: 64-65), ia memasukkan suku Dayak Ma’anyan, Lawangan dan Dusun sebagai bagian dari Dayak Ngaju. Bahkan orang Dayak Meratus [yang terdapat di Tapin, Amandit, Labuan Amas, Alai, Pitap dan Balangan], Dayak Pasir yang terdapat di Kalimantan Timur, orang Dayak Tumon di sungai Lamandau, Batang Kawa dan Bulik, juga dimasukkannya sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju. (1958: 184, bdk. 2003: 63). Tentu saja fakta empirik tidaklah demikian, orang Dayak Ma’anyan bukanlah orang Dayak Ngaju, begitu juga dengan orang Dayak Tumon.
Para missionaris[5] yang bertahun-tahun tinggal dan hidup di tengah-tengah orang Ngaju, juga tidak memakai istilah Biaju tetapi oloh Ngaju. Merekalah yang kemudian mengintrodusir sebutan Ngaju atau oloh Ngaju.
Hal itu dilakukan berdasarkan temuan mereka bahwa: pertama kata Biaju atau Bijaju bukanlah berasal dari orang Ngaju sendiri, tetapi dari orang luar, kedua orang Ngaju tidak menyebut dirinya Biaju tetapi mereka menyebut dirinya oloh Ngaju (Becker, 1849: 28).
Kata “Ngaju” (ditulis dengan n kapital) dipakai sebagai kata benda bukan sebagai kata keterangan tempat atau kata sifat (yang ditulis tidak dengan n kapital).
Schwanner (1853) memakai kata “orang Ngaju” untuk menyebut orang Dayak Ngaju. Kata ”Dayak”, yang dikemudian hari menjadi prefiks kata “Ngaju” sehingga menjadi “Dayak Ngaju”, pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan J.D. van Hohendorff yang berjudul “Radicale Beschrijving van Banjermassing” yang dipakai untuk menyebut “orang-orang liar di pegunungan” (1862: 188).
Tampaknya, kata ini dipungutnya begitu saja dari cara orang-orang pantai menyebut orang pedalaman. J.A.Crawfurd dalam bukunya yang berjudul “A Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Cauntries”(1856: 127) menyatakan bahwa istilah “Dyak” digunakan oleh orang-orang Melayu untuk menunjukan “ras liar” yang tinggal di Sumatra, Sulawesi dan terutama di Kalimantan.
Beberapa penulis menyatakan istilah Dayak kemungkinan berasal dari bahasa Melayu “aja” yang artinya penduduk pedalaman (boven beteekent) atau penduduk asli (native) (Adriani, 1912: 2; Schärer, 1946/1963:1; King, 1993:30).
Penamaan ini terus dipakai hingga kini seperti yang dilaporkan oleh Tania Li (2000: 25) bahwa pada masa kini, dalam administrasi resmi pemerintahan di Sulawesi, tetap menggunakan kata Dayak untuk menyebut suku-suku terasing-terkebelakang yang ada di wilayah pemerintahan mereka. Sama seperti menggunakan kata Biaju, orang-orang Melayu pendatang menggunakan istilah Dayak secara general untuk menyebut penduduk pulau Kalimantan yang tidak beragama Islam Dikemudian hari, dikotomi etnis berdasarkan paham religius yang berasal dari orang Melayu ini dipakai begitu saja oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi kependudukan, yaitu penduduk non muslim (Kristen atau Kaharingan) dikategorikan sebagai suku Dayak dan penduduk Muslim disebutnya sebagai suku Banjar (Mallinckrodt, 1928: I, 9).
Di kalangan masyarakat Dayak Ngaju sendiri, pada mulanya kata “Dayak” sama sekali bukanlah nama etnis. Hardeland[6] dalam kamus Dayak Ngaju-Jerman (1858) sama sekali tidak ada menyebutkan bahwa kata “Dayak” berarti “Suku bangsa di Kalimantan” seperti yang tercantum dalam kamus Dayak Ngaju-Indonesia pada masa kini (Bingan-Ibrahim, 1996: 56). Ia hanya memakai kata Dayak atau Dajacksch dalam artian nama etnis pada bagian judul saja. Judul kamusnya yang tersohor itu: Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, dikritik oleh Schärer ([1946] 1963:1-2) sebagai tidak tepat dan menyesatkan, karena kamus itu hanya memuat perbendaharaan kata-kata dari satu kelompok Dayak tertentu saja, yakni Dayak Ngaju. Karena bagi Schärer, kata “Dayak” adalah istilah umum atau nama generik untuk menyebut semua penduduk asli pulau Kalimantan yang beragama Kristen dan Pagan (Kaharingan) tanpa melihat perbedaan adatistiadat dan bahasa.
Walaupun demikian, menurut Fridolin Ukur (1971:32), Hardeland adalah orang yang pertama mengintrodusir pemakaian kata “Dayak” dalam artian positif yaitu untuk menandai suku-suku asli yang mendiami pulau Kalimantan, dimana sebelumnya kata “Dayak” dipergunakan sebagai kata ejekan atau hinaan. Dalam kamus Dayak Ngaju-Jerman yang disusun oleh August Hardeland terdapat kata dadayak, hadayak, kadayadayak, baradayak (Hardeland, 1858: 83).
Anak kecil yang berjalan tertatih-tatih, agak limbung dan sempoyongan karena baru berjalan berjalan disebut dadayak atau hadayak. Orang dewasa yang berpostur tubuh gemuk-pendek, yang berjalan agak limbung dan sempoyongan karena tubuh yang kegemukan dan kaki yang pendek, juga disebut dadayak atau hadayak.
Untuk orang dewasa yang berpostur tubuh tinggi, kalau berjalan agak limbung dan sempoyongan disebut kuhak-kahik yang artinya goyah meliuk-liuk. Seorang dewasa, walapun tidak bertubuh gemuk pendek namun masih berjalan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar berjalan disebut kadaya-dayak. Untuk sekelompok orang atau banyak orang yang berjalan limbung atau sempoyongan, misalnya karena baru turun dari perahu atau kapal motor, disebut bara dayak.
M.T.H. Perelaer[7] (1870), mencoba menerangkan bahwa gaya berjalan agak limbung dan sempoyongan itu karena kaki orang Dayak umumnya berbentuk busur (huruf O) dan karena orang Dayak seumur hidupnya banyak duduk bersila di perahu, karena itu kalau berjalan jadi tertatih-tatih atau limbung. Namun pendapat Perelaer itu disanggah oleh Maxwell (1983) dengan mengatakan bahwa orang Dayak tidak selama hidupnya duduk bersila di perahu yang kecil, mereka juga mempunyai perahu yang besar yang memungkinkan mereka berdiri dan tidak duduk bersila terus-menerus.
Apa yang dikatakan oleh Perelaer ada benarnya bila mengingat pada zaman dulu orang Dayak bila bepergian ke kampung lain dengan naik perahu dalam waktu yang cukup lama, bisa setengah atau satu harian penuh. Kaki bisa kesemutan karena duduk terlalu lama, sehingga ketika tiba di tempat tujuan, untuk sementara waktu berjalan menjadi tidak normal, agak sempoyongan, limbung dan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Hal itulah yang diamati oleh Perelaer sewaktu menjadi Komandan Benteng Belanda di Kuala Kapuas.
Namun menurut Becker,[8] tidak ada dasar atau alasan untuk menyatakan bahwa kata “Dayak” berasal dari kata dadayak yang adalah bahasa orang Ngaju, karena kata Dayak bukanlah berasal dari orang Dayak sendiri tetapi dari orang luar yang bukan Dayak (1849: 28). Hardeland (1858: 87) juga mencatat ada jenis tanaman padi yang bernama parei Dayak (padi Dayak) yaitu padi yang batangnya pendek namun berdiameter besar/gemuk. padi ini disebut padi Dayak, tidak hanya batang padinya yang pendek dan gemuk, tetapi juga bentuk bulir padinya berbentuk pendek dan gemuk.
Pada pertengahan abad ke-18 (sekitar 1761-1794) dalam surat-menyurat para pedagang Belanda di Banjarmasin disebutkan tentang komoditas rotan yang berasal dari wilayah orang Dayak yang disebut dengan nama rotan Dayak, rotan Biadjoe, dan rotan Dusun (Knappen, 2001: 355).[9] Pada masa kini, terutama di pedesaan, masih ditemukan pemakaian kata dadayak. Ternyata, kata ini tidak hanya ditujukan untuk manusia tetapi juga untuk seekor ayam. Seorang petani Dayak Ngaju yang memelihara banyak ayam kampung, suatu ketika menunjukkan ayam peliharaannya dan berkata “Lihat ayam itu kalau berjalan dadayak”. Ayam yang ditunjuknya memang gemuk dan berkaki pendek sehingga kalau berjalan agak limbung karena menyandang berat badannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik pemberian nama Biaju maupun Dayak sangatlah bersifat eksonem artinya diberi atau penamaan oleh orang luar. Pertama-tama oleh orang Melayu untuk menyebutkan penduduk asli pulau Kalimantan yang tidak beragama Islam. Kedua, kemudian penamaan ini diambil begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, pada tahap awal orang Ngaju tidak menyebut dirinya Dayak, bahkan tidak merasa bahwa dirinya adalah orang Dayak. Mereka hanya tahu bahwa sebutan itu muncul dari mulut orang luar atau para pendatang yang dipakai untuk merendahkan atau menghina diri mereka. Bila bertemu dengan orang luar, mereka lebih senang mengidentifikasi diri berdasarkan nama sungai-sungai dimana kampung atau tanah kelahiran mereka berada, misalnya oloh Katingan (orang dari daerah aliran sungai Katingan), oloh Kahayan (orang dari daerah aliran sungai Kahayan), oloh Kapuas (orang dari daerah aliran sungai Kapuas)atau oloh Barito (orang dari daerah aliran sungai Barito).
[1] Marko Mahin, Kaharingan-Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, Depok: Disertasi Doktoral Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, 2009, 128-138
[2] Pada masa kejayaan kesultanan Islam Banjar ada sekelompok suku Dayak Ngaju yang konversi ke Islam dan menyebut diri menyebut diri mereka sebagai Oloh Bakumpai (orang Bakumpai). Nama ini diambil dari kata Ba dan Kumpai. Dalam terminologi orang Bakumpai, Ba berarti “daripada,” “ada,” atau “di”. Sedangkan Kumpai adalah nama gelagah yang tumbuh menjalar di air yang biasanya terdapat di pinggir-pinggir sungai, atau rawa-rawa. Jadi Bakumpai adalah satu istilah untuk menunjukkan satu wilayah yang banyak ditumbuhi oleh kumpai, dan orang yang berasal dari wilayah itu disebut sebagai Oloh Bakumpai atau orang Bakumpai. Menurut laporan Schwaner, yang melakukan penelitian di Kalimantan pada tahun 1843-1847, populasi orang Bakumpai pada 1854 terdapat 5,265 jiwa. Mereka yang menganut agama Islam itu disebut sebagai orang yang sudah tame Malayu atau tame Salam (menjadi Melayu atau menjadi Islam). Kendatipun masih berbicara menggunakan bahasa Ngaju yang mereka sebut sebagai bahasa Bakumpai, mereka tidak lagi mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Dayak atau orang Ngaju. Sesuai dengan nama yang disandang, kumpai adalah gelagah air yang mengapung di pinggiran sungai. Bagi orang Ngaju, nama ini juga menunjukkan bagaimana sikap memisahkan diri para saudaranya yang telah memeluk agama Islam.
Schwaner pada tahun 1853 melaporkan bahwa di kampung Oloh Ngaju di Pulau Petak, orang Bakumpai tinggal di lanting-lanting (rumah terapung), selain untuk memudahkan mereka berdagang juga untuk menjauhkan diri dari binatang babi dan anjing yang berkeliaran secara leluasa. Karena pada waktu konversi ke Islam mereka harus babarasih yaitu ritual peralihan yang membuat mereka putus total dengan komunitas asal. Salah satu cara pemutusan adalah tinggal di lanting-lanting bagaikan kumpai, sehingga binatang najis yaitu anjing dan babi tidak bisa mendatangi mereka. Fenomena terakhir menunjukkan bahwa orang Bakumpai sudah mau menyebut dirinya “Dayak” sehingga muncul kategori “Dayak Bakumpai” dalam Sensus Penduduk 2000. Bahkan sudah ada pengakuan terbuka bahwa nenek moyang mereka pada masa dulu adalah orang Dayak Ngaju (lihat “http://baritobasin.wordpress.com/2007/06/25/bakumpai-dayak-dan-muslim/”).
Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa orang-orang Dayak di sungai Barito misalnya Dayak Dusun, Dayak Ma’anyan, Dayak Taboyan atau Dayak Lawangan, bila memeluk agama Islam atau kawin dengan orang Banjar maka akan menyebut dirinya Bakumpai atau Dayak Bakumpai. Contoh yang paling mencolok adalah Asmawi Agani, Gubernur Kalimantan Tengah Masa Bhakti 2000-2005, yang secara geneologis lahir dari ayah Dayak (campuran antara Dayak Dusun, Taboyan, Lawangan dan Ma’anyan) dan ibu Banjar (Agani, 2007: 7-8), namun ia tidak menjadi Dayak Dusun, Taboyan, Lawangan atau Ma’anyan. Bahkan tidak menjadi Banjar, tetapi menjadi Dayak Bakumpai. Dengan jelas dan tegas ia mengatakan, “Bahwa saya dilahirkan di Kalimantan Tengah, sebagai sub Suku Bakumpai yang merupakan salah satu sub suku Dayak” (2007: 176). Alasannya menyebut diri Bakumpai atau Dayak Bakumpai adalah karena “pada umumnya/mayoritas memeluk agama Islam” (Agani, 2007: 176).
[3] Dalam Hikayat Cina Dinasti Ming (1368-1643), yaitu catatan pelayaran para pedagang Cina ketika berlabuh di Banjarmasin, ada disebutkan tentang ”orang Beaju”, yang dalam lafal Hokkian (Fujian) ditulis Be-oa-jiu (Groeneveldt 1876:106-107). Dapat diduga bahwa sumber penulisan Hikayat Cina itu adalah orang-orang Banjar yang mereka temui di pelabuhan Banjarmasin. Bagian dari catatan yang terdapat Hikayat Cina itu adalah: Produk negara ini [Banjarmasin-Marko Mahin] adalah cula badak, burung merak, burung nuri, mahkota bangau, lilin malam, tikar rotan, darah naga, buah pala, kulit rusa dan sebagainya. Di sekitar pemukiman ini hidup orang Beaju. Mereka sangat kejam dan biasa berkeliaran di tengah malam untuk memenggal kepala manusia. Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap mereka dan menugaskan penjaga pada malam hari [Bold-MM].
[4] Daniel Beeckman, seorang pelaut Inggris, Ketika mengunjungi Banjarmasin pada tahun 1718(Beeckman, 1973: 43) melaporkan demikian mengenai orang Ngaju: Penduduk pedalaman bertubuh lebih tinggi dan lebih kuat dari orang Banjar, ganas, liar dan suka perang. Mereka disebut para Byajo (Biaju –MM) yaitu satu kelompok orang yang malas, tidak suka pada kerja tangan atau perdagangan, dan biasa hidup bergantung pada hasil perampokan dan barang rampasan dari suku-suku sekitar mereka. Agama mereka adalah Penyembahan Berhala (Paganism), dan bahasa mereka berbeda dari yang dibahasakan oleh orang-orang Banjar. Mereka hampir telanjang dan hanya memakai sepotong kain kecil untuk menututupi alat kelamin mereka; mereka mewarnai badan mereka dengan warna biru [maksudnya tato-MM], dan mempunyai suatu kebiasaan yang sangat aneh yaitu membuat lubang pada bagian yang lunak dari dari daun telinga mereka ketika usia muda, ke dalam lobang itu mereka memasukkan potongan kayu yang cukup besar, dan dengan terus-menerus mengenakan potongan kayu itu maka lobang pada daun telinga semakin membesar, ketika mereka masuk pada usia dewasa maka daun telinga mereka akan menjuntai tergantung hingga bahu. Pada ujung terbesar dari potongan kayu yang besarnya sama dengan besar uang logam itu ditutupi dengan lapisan emas. Laki-laki bangsawan pada umumnya mencabut gigi depan mereka dan menggantinya dengan emas
[maksudnya gigi palsu yang terbuat dari emas-MM]
. Kadang-kadang mereka
memakai perhiasan yang terbuat dari gigi macan yang disusun berbaris
agak renggang dan digantung di leher atau badan mereka [kumpulan jimat
yang oleh orang Dayak Ngaju disebut penyang—Marko Mahin] Dari catatan
Beckman tampak bahwa pada abad ke-18 telah terjadi pembedaan antara
Biaju dan Banjar. Ciri utama yang membedakan adalah bahasa dan agama.
Orang Biaju tidak berbahasa Banjar dan beragama Pagan.
[5]
Kekristenan mulai masuk ke Kalimantan Tengah sejak 1835 yaitu dimulai
dengan datangnya Zending Barmen dari Jerman. Pekerjaan mereka sempat
terhenti karena meletus Perang Banjar pada tahun 1859. Karena mengalami
kekalahan perang, maka missi dari Jerman diganti oleh missi dari
Basel-Swiss. Pada tahun 1935 berdiri gereja suku dengan nama Gereja
Dayak Evangelis (GDE) yang pada masa kini menjadi gereja wilayah dengan
nama Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Lihat Ukur, Fridolin. Tuaiannya
Sungguh Banyak, tahun 1960 dan Tantang-Djawab Suku Dajak, tahun 1971.
[6]
August Friederich Albert Hardeland (30 September 1814-27 Juni 1891)
atau Hardeland adalah seorang Utusan Injil (Missionaris) yang diutus
oleh Rheinische Missionsgesellschaft [Lembaga Pekabaran Injil di Jerman]
untuk bekerja di Kalimantan sejak tahun 1841 hingga 1845. Karena alasan
kesehatan pada tahun 1845 ia meninggalkan Kalimantan, namun sejak tahun
1850 hingga 1856 ia kembali bekerja Kalimantan sebagai utusan dari
Nederlands Bijbelgenootschap (Lembaga Alkitab Belanda). Hardeland [bukan
Kaderland] sama sekali bukan seorang Antropolog apalagi Sosiolog. Ia
orang Jerman bukan orang Belanda, serta bukan orang yang pertama kali
memakai istilah Dayak, seperti yang dituding oleh beberapa penulis
Indonesia (lihat Yekti Maunati, 2004: 60). Ada Crawfurd (1757) atau
Halewinjn (1832) yang sudah lebih dahulu menggunakan kata Dayak dalam
tulisannya. Selain sebagai seorang Utusan Injil, Hardeland juga adalah
Penterjemah Alkitab (Bibel) ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Ia juga
menyusun kamus Dayak-Jerman: Dajacksch-Deutsches Wörterbuch (1858) serta
Tata Bahasa Dayak Percobaan: Versuch einer Grammatik der Dajackschen
Sprache (1858). Kamus Dayak Ngaju-Jerman yang disusun oleh Hardeland
masih tidak ada tandingannya hingga kini. Buku ini bukan sekedar kamus
tetapi juga sekaligus merupakan ensiklopedia Dayak Ngaju karena sarat
dengan informasi mengenai adat, agama dan kebudayaan Dayak Ngaju, serta
mengenai kata-kata Dayak Ngaju yang sekarang ini telah hilang dan tidak
pernah diucapkan lagi oleh orang Dayak Ngaju sendiri. Dalam kamusnya,
Hardeland sama sekali tidak menyebutkan bahwa kata “dayak” berarti suku
bangsa di Kalimantan seperti yang tercantum dalam kamus Dayak
Ngaju-Indonesia pada masa kini (Bingan- Ibrahim, 1996: 56).
Judul
kamusnya yang tersohor itu: Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, dikritik
oleh Schärer ([1946] 1963:1-2) sebagai tidak tepat dan menyesatkan,
karena kamus itu hanya memuat perbendaharaan kata-kata dari satu
kelompok Dayak tertentu saja yakni Dayak Ngaju. Karena bagi Schärer,
kata “Dayak” adalah istilah umum atau nama generik untuk menyebut semua
penduduk asli pulau Kalimantan yang beragama Kristen dan Pagan
(Kaharingan) tanpa melihat perbedaan adat-istiadat dan bahasa.
Hardeland,
menurut Adriani (1932 via Swellengrebel, 1974: 53) adalah ahli pertama
yang menaruh perhatian pada salah satu bahasa ritual di Indonesia yaitu
basa Sangiang di kalangan Dayak Ngaju. Sedangkan James Fox (1971: 217)
menyatakan bahwa Hardeland adalah orang yang pertama kali mencatat atau
menemukan adanya pararel-pararel Ibrani (kata-kata dan kalimat-kalimat
berpasangan) dalam bahasa ritual para imam Dayak Ngaju yang dikenal
dengan basa Sangiang. Pada tahun 1859, Hardeland dianugerahi gelar
Doktor Kehormatan (Honoris Causa) atas jasanya menterjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Dayak Ngaju yang memungkinkan Pekabaran Injil di pulau
Kalimantan. Alkitab yang diterjemahkan oleh Hardeland masih dipakai oleh
orang Dayak Ngaju yang mereka sebut Surat Barasih (Kitab Suci).
[7]
M.T.H. Perelaer atau Michaël Theophile Hubert Perelaer (1831-1901)
adalah tentara Belanda dan pengarang buku Ethnographische Beschrijving
der Dajaks (1870) yang menjadi klasik di kalangan para peneliti Dayak
Ngaju. Lahir di Maastricht-Belanda pada 4 Agustus 1831. Pernah menempuh
pendidikan di seminari Roldue karena berkeinginan menjadi pendeta, namun
dropout pada 1854 dan kemudian masuk dinas militer. Pada 1855, ia
berangkat ke Hindia Belanda. Ia pernah berdinas di Aceh dan ikut Perang
Aceh. Ketika meletus Perang Banjar pada 1859, ia terlibat sebagai opsir
Belanda. Pada 1860, ia diangkat sebagai Civiel Gezahebber (Pejabat
Sipil) di wilayah Groote en Kleine Dajak (Dayak Besar dan Dayak Kecil
yaitu sungai Kahayan dan Kapuas, termasuk Murong, pada masa sekarang
ini), bertempat di Kuala Kapuas. Ia menjadi Komandan Benteng Belanda
yang ada di Kuala Kapuas dengan pangkat Letnan Satu dari Tahun 1860
hingga 1964. Tulisannya yang lain berjudul Eene wandeling door de
benting te Kwala- Kapoeas (1864). Ia juga menulis novel yang berjudul
Borneo van Zuid naar Noord (1861) yang telah diterjemahkan ke bahasa
Inggris (1887), bahasa Perancis (1896) dan bahasa Indonesia (2006)
dengan judul Desersi oleh sejarahwan Helius Sjamsudin.
[8]
J. F. Becker atau Johann Friederich Becker (1811-1849) adalah seorang
Utusan Injil (Missionaris) yang diutus oleh Rheinische
Missionsgesellschaft [Lembaga Pekabaran Injil di Jerman] untuk bekerja
di Kalimantan. Ia tinggal selama tinggal dan hidup selama tiga belas
tahun di tengah-tengah orang Dayak Ngaju (1836-1849). Bersama Hardeland
ia melakukan penterjemahan Alkitab. Pada tahun 1847 muncul tulisannya
tentang konsepsi ketuhanan orang Dayak Ngaju yang berjudul Von dem
Gottesdienste auf Borneo. Tulisannya yang lain adalah Reis van
Poelopetak naar binnenland van Borneo langs de Kapoeas-river dan Het
district Poelopetak. Zuid en Oostkust van Borneo yang terbit di Indisch
Archief pada tahun 1849.
[9]
Selain Hardeland, Perelaer (1870: 178-179) mencatat ada 37 nama padi
biasa dan 16 padi ketan yang dikenal oleh orang Dayak Ngaju, salah
satunya bernama Parei Dayak
Tulisan
Charles Hose, SC.D & Shelford M.A F.LS – Materials for a Study of
Tatu in Borneo (The Journal of the Anthropological Institute of Great
Britain and Ireland Vol. 36, Jan-Jun., 1906, pp. Ix+60-91), sampai saat
ini adalah salah satu sumbangsih lengkap mengenai tato suku-suku Dayak
di Kalimantan yang masih kerap dipakai sebagai bahan literatur. (tulisan
serupa oleh juga oleh Charles Hose, D.SC. & William McDougall,
M.B., F.R.S. – The Pagan Tribes of Borneo, London: Macmillan and co.,
limited, 1912, Bab.XXII, hal. 224 “Decorative Art” juga memiliki isi
yang sama, hanya saja tulisan tersebut tidak berfokus kepada tato saja,
namun juga seni lainnya). Selain itu juga terdapat tulisan Henry Ling
Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo, London: Truslove
& Hanson (1896), Vol. II yang juga memiliki isi agak lengkap. C.
Hose dan R. Shelford, mendasarkan tulisan mereka atas beberapa sumber
referensi antara lain:
1. Beccari, Dr. O., Nelle Foreste di Borneo (1902).
2. Bock, Carl, The Head-hunters of Borneo (1882).
3. Furness, W. H., The Home Life of Borneo Head-hunters (1902).
4. Haddon, E. B., ” The Dog-motive in Bornean Art,” (Journ. Anth. Inst., 1905).
5. Hamer, C. den, Iets over het Tatoueeren of Toetang bij de Biadjoe-Stammen.
6. Hein, A. R., Die Bildenden Kiinste bei den Dayake auf Borneo (1890).
7. Ling Roth, H., The Natives of Sarawak and British North Borneo (1896), Vol. II.
8. Nieuwenhuis, Dr. A. W., In Centraal Borneo (1900), Vol. I.
9. Nieuwenhuis, Dr. A. W., Quer durch Borneo (1904), Vol. I.
10. Schwaner, Dr. C. A. L. M., Borneo (1853-54), cf. Ling Roth, Vol. II, pp. cxci to cxcv.
11. Whitehead, J., Exploration of Mount Kina Balu, North Borneo (1893).[1]
Mereka
juga menambahkan bahwa referensi lainnya juga dapat ditemukan dalam
catatan tulisan Burns, Brooke Low, McDougall, De Crespigny, Hatton, St.
John, Witti dan lain sebagainya. Namun semuanya itu akan didapati
dalam referensi footnote dalam buku tulisan Henry Ling Roth, The
Natives of Sarawak and British North Borneo (1896), volume 2, Bab. XIX,
hal. 83-95 dengan judul “Painting and Tatuing.”
Ernest
B. Haddon, dalam tulisannya The Dog Motives in Bornean Art (Journ.
Anth. Inst., 1905), menulis bahwa praktek merajah tubuh dan otot di
Borneo adalah hal yang sangat umum, dan desain motif juga sangat
membedakannya. Terdapat motif binatang (asu – anjing, kala –
kalajengking) di beberapa pola, namun kemudian hal tersebut kembali
membuat kita sulit mengidentifikasi identitas asal-usulnya. Haddon
menulis bahwa Dr. A. W. Nieuwenhuis, membagi suku-suku Dayak di Borneo
berdasarkan tato mereka. Sementara pola tato para perempuan Dayak mesti
dipelajari secara khusus, karena para Laki-laki Dayak sering merajah
pola yang berasal dari suku lainnya ketika mereka melakukan perjalanan.
Kelompok ke-1.Bahau, Kenyah dan Punan, Kelompok ke-2. Bukat dan Bekatan,
sedangkan kelompok ke-3 Suku-suku di Barito dan di sungai Melawi serta
Ulu Ajar di sungai Mandai. Menurut pembagian tersebut dapat dimengerti
Dayak Ngaju juga termuat di dalam kelompok ke-3. Ciri khas grup ketiga
ini adalah:
1. Seluruh tubuh dihiasi oleh garis-garis berwarna hitam
2. Tato pada Laki-laki dimulai pada betis dan kaki
3. Tato pada Perempuan umumya dimulai dari tangan dan kaki
4. Pola langsung digambar pada kulit dengan tekhnik free-hand
5. Tato berwarna merah dan hitam.
6. Tattooers, Tattoo Artist atau pentato adalah kaum laki-laki.[2]
Carl
Lumholtz, dalam bukunya Through Central Borneo – An Account of Two
Years Travel in The Land of The Head-Hunters Between The Years 1913 and
1917, (New York: Charle Scribner’s Songs, 1920), Volume 2, melaporkan
bahwa Orang Katingan adalah orang-orang yang pemalu, suku yang berbudi
baik. Mayoritas mereka tidak biasanya bebas dari penyakit kulit. Namun
Lumholtz melaporkan bahwa tidak ada penyakit yang nyata terjadi pada
waktu itu. Beberapa orang dari daerah rendah di Katingan mempunyai betis
dan kaki di bawah ukuran normal. Kasus ini terjadi seperti atas tiga
orang perempuan di Pendahara, dan juga dengan seorang Blian (Balian)
yang merupakan istri lainnya dari seorang laki-laki yang gagah perkasa.
Semua laki-laki memiliki sebuah tato yang merupakan representasi bulan
penuh/ purnama pada betis dan kaki, mengikuti kebiasaan orang Ot-Danum,
Murung dan Siang. Sejauh Lumholtz menyusuri sungai bagian atas Katingan
ia menulis jarang menemui orang-orang yang bertato dibandingkan daerah
di bagian bawahnya, tetapi daerah yang lebih rendah orang-orang mulai
menghiasi dada dan lengan tangan dengan memakai ilustrasi objek yang
familiar. Beberapa orang-orang tua telah meninggal. Konon tubuh, bahkan
punggung, tangan dan wajah mereka ditandai dengan tato. Namun salah
seorang yang memiliki hiasan seperti itu dikatakan Lumholtz masih hidup.[3]
Tattoo Biajau (Biaju – Ngaju red.)[4]
Penulis
Belanda C. Van Den Hamer, memberikan sumbangsih tulisan mengenai tato
suku-suku yang tinggal di wilayah sekitar aliran sungai Murung, Kahayan,
Katingan dan Mentaya, Kalimantan Tengah (Borneo Selatan, waktu itu)
dalam tulisannya Iets over het Tatoueeren of Toetang bij de
Biadjoe-Stammen. Termasuk Ot Danum, Siang, dan Ulu Ajar, menurut
Nieuwenhuis. Etnologi dari Barito, Kahayan dan Katingan dan sekitarnya
memerlukan penelitian lebih lanjut; tidak banyak pengetahuan penting
tentang tato yang telah dipublikasikan di wilayah ini sejak munculnya
buku Carl Anton Ludwig Maria Schwaner, yakni “Borneo” ratusan tahun
lalu. Sangat sedikit pengetahuan tentang suku-suku yang tinggal di
daerah ini dan tulisan Schwaner tentang tato mereka juga sangat sedikit.
Dalam tulisan terjemahan H. Ling Roth dari tulisan catatan etnologi
Schwaner dalam The Natives of Sarawak and British North Borneo Vol.2,
1896, dan dikutip kembali oleh C. Hose dan R. Shelford, dalam tulisannya
Materials for a Study of Tatu in Borneo, mencatat:
“Seorang
laki-laki dari Pulo Petak (Pulau Petak), daerah di sebelah kanan sungai
Barito dan sungai Banjarmasin, memiliki tato pada bagian atas tubuhnya,
lengan dan betis kakinya dihiasi dengan desain yang indah, elegan dan
bergulung-gulung. Orang-orang dari Sungai Murung dikatakan memiliki tato
paling indah, baik laki-laki dan perempuan; Sungai ini terletak di
bagian atas dari Barito, dan menurut Hamer dihuni oleh Biajau (Biaju)
(vide postea), yang tampak berbeda dari Ngaju menurut Schwaner, mendiami
daerah yang lebih rendah dari sekitar sungai Barito dan sungai Kapuas.
Orang-orang dari daerah di sebelah kiri dan daerah yang lebih rendah di
sekitar sungai Barito serta daerah di pertengahan aliran sungai Barito
umumnya tidak bertato sama sekali, tetapi tato seperti itu masih ada
pada tahun 1850an menurut catatan Schwaner. Tato yang terdiri dari dua
garis spiral yang saling bertemu satu sama lain dan dengan bintang di
kedua bahunya menandakan bahwa orang itu telah memotong beberapa kepala;
tato dua baris garis bertemu satu sama lain pada sudut akut balik kuku
jari menandakan ketangkasan seni, yakni seniman yang mahir mengukir
kayu; sementara tato sebuah bintang di pelipis adalah tanda kebahagiaan
dan sukacita.”
Namun
sayangnya informasi lebih rinci mengenai bentuk yang paling menarik
dari tato tersebut tidak ditemukan. Sementara para perempuan dari suku
tersebut tidak bertato. Di daerah bagian atas sungai Teweh yang
merupakan anak sungai atas dari Barito, orang-orang di sana memiliki
tato yang indah, terutama pada bagian wajah, seperti dahi, pipi, dan
bibir atas. Satu-satunya model yang digambar oleh Carl Anton Ludwig
Maria Schwaner dan direproduksi ulang oleh Henry Ling Roth [7, p. 93],
adalah model yang mewakili dua orang Dayak Ngaju; namun desain tato
tersebut memiliki skala yang terlalu kecil dan kurangnya informasi
lanjutan. Dua model selanjutnya diberi penjelasan judul ‘Tatued Dyak’ (?
Kyans) (setelah Profesor Veth) p. 95, dalam The Natives of Sarawak and
British North Borneo Vol.2, 1896, hal. 93. Sementara C. Hose dan R.
Shelford, dalam tulisannya Materials for a Study of Tatu in Borneo juga
kesulitan untuk mengindikasikan dari suku mana model yang diilustrasikan
tersebut. Roth pun ragu-ragu menyebutnya Dayak Kayan (?). Agaknya model
yang diilustrasikan lebih kepada Dayak Ngaju, dengan tato motif
Hadangan (Kerbau) atau Batang Garing (?)



p. 93



p. 95,
Sumber: Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo Vol.2, 1896
Hamer
dalam makalahnya memberikan laporan rinci tentang tato Biajau (Biaju –
Ngaju red.), tapi sayangnya tanpa ilustrasi, seperti catatan abstrak
yang diberikan oleh Ling Roth [Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak
and British North Borneo, hal. 93, 94] dan oleh Hein [A. R. Hein, Die
Bildenden Kiinste bei den Dayake auf Borneo (1890), hal. 143-147].
Ot-Danutm, Ulu Ajar dan Siang (sekitar aliran sungai Kapuas)
Khusus
untuk suku-suku ini, A. W. Nieuwenhuis memberikan laporannya, tetapi
lagi-lagi sedikit [Dr. A. W. Nieuwenhuis, Quer durch Borneo (1904),
Vol. I, hal. 452]. Ia hanya mencatat bahwa laki-laki memiliki tato
pertama-tama berupa bulatan pada betis dan belakang lutut, kemudian
bagian atas lengan, batang tubuh dan tenggorokan. Sementara para
perempuan memiliki tato di tangan, lutut dan tulang kering. Yang menarik
mereka sudah menerapkan pewarnaan pada tato berupa dua warna, merah dan
biru. Tato juga menggunakan tekhnik free-hand. Sementara instrumen
alat pentato yang digunakan adalah sepotong tembaga atau kuningan
panjang sekitar empat inci dan bagian yang lain satu setengah inci.
Ujungnya bengkok dan tajam dan dibatasi dengan lilitan benang sebagai
pembatas masuknya tinta ke dalam kulit. Dua spesimen atat untuk mentato
dari Museum Leiden yang digambar oleh Ling Roth [Henry Ling Roth – The
Natives of Sarawak and British North Borneo, hal. 85].
Kapten
Daniel Beeckmen, seorang pelaut Inggris, Ketika mengunjungi Banjarmasin
pada tahun 1718 dalam laporannya “A Voyage to and from the Island of
Borneo, In East Indies,” juga melaporkan bahwa penduduk di Banjarmasin
(Kalimantan Selatan – kala itu) terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok
yang pertama adalah orang Banjar, sedang kelompok yang kedua disebut
orang Byajo (Biaju – Ngaju red.) Beccmen menulis:
“Penduduk
suku pedalaman tubuhnya jauh lebih tinggi dan kekar ketimbang orang
Banjar, gagah dan sangar. Mereka dinamakan Byajo. Agama dan bahasa
mereka berbeda dengan yang digunakan orang Banjar. Mereka hampir
telanjang dan hanya memakai sepotong kain kecil untuk menututupi alat
kelamin mereka (chawat). Mereka mewarnai tubuh mereka dengan warna biru.
(pada alinea lainnya Beecmen menulis “tubuh mereka seluruhnya ditutupi
dengan tinta biru” dan ia juga menyebut Orang Gunung), dan memiliki
kebiasaan “aneh” yaitu membuat lubang pada bagian yang lunak dari dari
daun telinga mereka ketika usia muda, ke dalam lobang itu mereka
memasukkan potongan kayu yang cukup besar, dan dengan terus-menerus
mengenakan potongan kayu itu maka lobang pada daun telinga semakin
membesar, ketika mereka masuk pada usia dewasa maka daun telinga mereka
akan menjuntai tergantung hingga bahu. Pada ujung terbesar dari potongan
kayu yang besarnya sama dengan besar uang logam itu ditutupi dengan
lapisan emas. Laki-laki bangsawan pada umumnya mencabut gigi depan
mereka dan menggantinya dengan emas (gigi palsu emas). Kadang-kadang
mereka memakai perhiasan yang terbuat dari gigi macan yang disusun
berbaris agak renggang dan digantung di leher atau badan mereka
(Penyang).”[5]



Sumber: Charles Hose and R. Shelford – Materials for a Study of Tatu in Borneo
Sementara
Hamer, mengatakan bahwa tato wanita Ot-Danum di bawah tulang kering ke
pergelangan kaki dengan dua garis sejajar yang saling bertemu,
merupakan modifikasi dari desain Uma Tow untuk bagian yang sama dari
anggota badan. Desain tato pada paha perempuan suku ini disebut soewroe
(suru – lalu, lewat) (Gambar 8) dikatakan menyerupai hiasan leher.
Sebuah tato lingkaran pada betis kaki disebut boentoer (bunter – bulat),
dan tato di tumit dengan motif garis berduri disebut ikoeh bajan, (ikuh
bajan – ekor biawak). Tato pada kaki kanan disebut bararek, serta
dandoe tjatjah (dandu cacah) di kiri. Prajurit yang ditato pada siku
dengan tato dandoe tjatjah dan sebuah palang (+) disebut sarapang
mattaandau (sarapang matan andau – senjata matahari). Seorang Dayak
Maloh yang hidup selama bertahun-tahun di antara orang-orang ini memberi
informasi berikut tentang tato mereka. Pada suku ini terdapat perbedaan
besar antara tato kelas tinggi dan kelas rendah: di antara orang-orang
tersebut desain tatonya begitu luas dan rumit, terlalu rumit untuk
menggambarkannya dengan tingkat akurasi, tetapi tato mereka
tampaknya
sama seperti yang dijelaskan oleh Hamer. Orang-orang kelas rendah harus
puas dengan desain sederhana; orang-orang yang di tato pada dada dan
perut dengan dua garis melengkung, dan di bagian luar masing-masing
lengan dengan dua baris juga berakhir melengkung (Gambar 6.); di luar
paha desain ditampilkan pada Gambar. 7 disebut linsat, tupai terbang
(Pteromys nitidus), dan di bagian belakang betis adalah tato lingkaran
yang disebut Kalong baboi (rantai babi), pola babi. Para perempuan yang
memiliki tato seperti yang dijelaskan oleh Hamer, pada bagian depan
tulang kering dengan dua garis sejajar dihubungkan oleh garis melintang.
Desain tersebut umumnya mewakili motif ikan (Gambar. 8.)



Fig. 2.-Design on the arm of a Peng man Fig. 3 Design on the arm of a Kahayan man.



Fig. 6 Tatu design on arms and torso of a Biajan man of low class



Fig. 7.-Tatu desigu on leg of Biajau man of low class. From a drawing by a Maloh.



Fig. 8.-Tatu design on shin of Biajau woman of low class. From a drawing by a Maloh.



Kahayan.
(Gambar. 3), dan plat 81 dari buku Dr. Nieuwenhuis Quer durch Borneo
Ergebnisse seiner Reisen in den Jahren 1894, 1896–97 und 1898–1900
Erster Teil filestentang, tato penduduk dari Sungai Kahayan. Ilustrasi
terakhir menunjukkan seorang laki-laki bertato dengan karakteristik pola
tato di atas batang tubuh, perut dan lengan, namun sayangnya tidak ada
referensi lebih lanjut yang ditulis. Figur model disalin dari gambar
oleh Dr. H. Hiller, dari Philadelphia.
Carl
Anton Ludwig Maria Schwaner, dalam bukunya “BORNEO” menulis sedikit
tentang tato Dayak Ngaju dari sungai Kahayan dan Ot Danum. Kebiasaan
mentato berasal dari Kahaijan (Kahayan), juga tentang pemakaian lameangs
(Lamiang-red. kalung dari sejenis batu akik) pada leher. Mereka telah
belajar dari penduduk Sungai Kapuas Moeroeng.[6]
Orang
Ot Danum dan Ngadjoes (Ngaju) memiliki tato yang lebih sempurna dan
lebih kompleks, menutupi seluruh tubuh kecuali bagian wajah. Namun,
dikatakan bahwa tato pada orang Ot Danom dan Ngadjoes di tahun
sebelumnya telah sangat sedikit ditemui. Bilians (Balian) memiliki tato
indah padatu buhnya, yang merupakan deskripsi dari tato Sangsangs.
Serupa dengan perempuan dari Siangsche (Siang); tato pada kaki dapat
terlihat dari lutut ke mata kaki.[7]


















plat
81, Sumber: Dr. A.W. Nieuwenhuis Quer durch Borneo – Ergebnisse seiner
Reisen in den Jahren 1894, 1896–97 und 1898–1900 Erster Teil
filestentang.
Tattoo Dayak Ngaju Kahayan



Barito Dajak, Midden-Borneo. Borneo-expeditie onder leiding van dr A.W. Nieuwenhuis
by: Demmeni, J. (1897)
Kedua foto di atas adalah potret Sawang Kalong, dengan tato Kahayan.
Portret
van Sawang Kalong, Dajak man met tatoeage uit Kahajan. Uit de
collectie: Gefotografeerd voor de wetenschap; exotische volken tussen
1860 en 1920.



Dajak aus dem Banjer Massin Gebiet, by Ernst Krammann, Ethnologisches Museum, Staatliche Museen zu Berlin



Een_Dayak_in_krijgstenu_by_A._Van_Pers_1854









Een
gewapende Dajak uit Kota Baroe, Kapoeas. Op de takening staat vender
met potlood aangegeven: Tapa, Telawang en Ewa, by Heinrich von Gaffron
1850. Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden by J.H.
Moronier – ‘s – Gravenhege : Nijhoff, 1967 – p.25






Getatoeeerde
Dajak uit Kota Baroe de Kapoeas – rivier met een speer in de aanslag,
by Heinrich von Gaffron 1850. Royal Institute of Linguistics and
Anthropology in Leiden by J.H. Moronier – ‘s – Gravenhege : Nijhoff,
1967 – p.25



Dayak Ngaju tattoo (?)



Old illustration of Dayak warrior Borneo native By Boulanger and Mourand published on Le Touur du Monde Paris 1861



Antique
Print of Dayak people titled ‘Dayakkers – Habitants de Borneo’. A rare
and much sought after coloured lithograph print by Auguste van Pers
(1815-71)



Three
hunters with a dead leopard. Coloured lithograph by H.A. Henrici and
W.J. Gordon, ca. 1839. Henrici, H.A. von. Date [1839?]
Bedjadjoe 1 – by W.T. Gordon 1839-1844



A man with two women and a baby. Coloured lithograph by H.A. Henrici and W.J. Gordon, ca. 1839. Henrici, H.A. von. Date [1839?]
Bedjadjoe 1 – by W.T. Gordon 1839-1844



Two
ancient native Dayak hunters speaking in the thick jungle wearing
theirtraditional hunting equipement by Lancon after Duch colonies
iconographic atlas published on Le Touur du Monde Paris 1862



Laki-laki pada bagian Tengah dengan tattoo suku Dayak Ngaju dari Kahayan



Laki-laki ditengah dengan tattoo Dayak Ngaju (tampak samar-samar)



Laki-laki di sebelah kanan dengan tattoo Dayak Ngaju, pada kaki tampak tattoo “bunter” (tampak samar-samar)






Dayak Ngaju






Motif Tattoo Kaki Dayak Ngaju (By: Durga Tattoo)



























Motif Tattoo Kaki Dayak Ngaju (By: Master Aman Durga Sipatiti – Durga Tattoo)
This design made for the Dayak dance-art-musical performance collaboration “Bawi Lamus” in Jakarta – October 2018.






Motif Custom Tattoo Kaki Dayak Ngaju






Motif Custom Dayak Ngaju Tattoo






Motif Tattoo Kaki Laki-laki Dayak Ngaju



Motif Custom Dayak Ngaju Tattoo






Motif Tattoo Kaki Laki-laki Dayak Ngaju












Motif Tattoo Dayak Ngaju by: Rizky Nayar












Tattoo Dayak Ngaju









Bedjadjoe 1 – by W.T. Gordon 1839-1844






Sumber: C. Lumholtz – Trough Central Borneo Vol 2, 1920.









Catatan Schwaner Tentang Tattoo Dayak Ngaju dalam bukunya: Borneo Vol.2















Ngadjoes van zuidelijk Borneo , Sumber: C. A. L. M. Schwaner – BORNEO vol. 2, 1854



Ngadjoes van zuidelijk Borneo, Sumber: C. A. L. M. Schwaner – BORNEO vol. 2, 1854







































Catatan C. Den Hamer, Iets over het Tatoueeren of Toetang bij de Biadjoe-Stammen.
Hamer,C.den. lets over het tatoueeren of toetang bij de Biadjoe-stammen. Tijd., XXX,
451-458. 1885.






Sumber Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo Vol.2, 1896



Gambar yang sama, (sumber masih belum diketahui)



Bedjadjoe 1 – by W.T. Gordon 1839-1844



Bedjadjoe 1 – by W.T. Gordon 1839-1844












C.
Lumholtz, menggambarkan tato Dayak Ngaju dalam bukunya Trough Central
Borneo. Sosok laki-laki yang menjadi model ilustrasi berasal dari suku
Dayak Ngaju di Sungai Katingan (Tetua di Tewang Rongkang).
Tato
pada lutut menggambarkan ikan dari zaman kuno. Tato pada paha adalah
representasi dari anjing atau naga dengan kepala anjing. Desain Tato
pada bagian tengah tubuh merupakan pohon, batang yang naik dari pusar;
Dua desain oval besar membentang di dada, menggambarkan sayap unggas.
Pohon yang disebut Batang Garing, adalah salah satu yang luar biasa,
yang tidak bisa mati (Pohon Kehidupan). Di bawah lengan dan di atas
bahu adalah desain yang sama mewakili daun telapak pinang. Perbatasan di
sekitar pergelangan tangan merupakan representasi dari burung yang
disebut Susulit. Tanda Silang di tangan mewakili paruh burung
Enggang/Rangkong, Tanda yang mirip bintang adalah mata Enggang/Rangkong.[8]









Sumber: C. Lumholtz – Trough Central Borneo Vol 2, 1920.
Sumber:
Carl Lumholtz -Through Central Borneo: An Account of Two Years’ Travel
in the Land of Head-Hunters Between the Years 1913 and 1917
Dikutip
dan diterjemahkan dari buku: Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak
and British North Borneo, London: Truslove & Hanson (1896), Vol. II.[9]
Ringkasan
laporan C. Van Den Hammer yang dikutip dan diterjemahkan oleh Henry
Ling Roth dalam footnote bukunya The Natives of Sarawak and British
North Borneo Vol.2, 1896, hal. 93-95. Hammer dalam laporannya mengenai
tato (tutang) Biaju (Ngaju red.). Mengenai pola yang berbeda hanya
sedikit banyak dipraktekan dan menurutnya sebenarnya merupakan perluasan
desain yang sama. Sebagian hanya mempunyai suatu pola bulatan (bunter)
pada betis, pola yang lainnya (manuk) pada lengan, dan seterusnya, tanpa
penambahan tato lebih lanjut. Orang (Dayak) pesisir pantai kebanyakan
telah berhenti mempraktekan praktek tato, akan tetapi orang Ot Danum, di
dataran yang lebih tinggi atau daerah perbukitan masih mempraktekannya.
Anak laki-laki mulai ditato ketika mereka mulai menggunakan cawat.
Tampaknya tidak ada kegiatan ritual upacara atau puasa khusus dalam
proses tersebut. Alat yang digunakan berupa kuningan yang dibengkokkan,
dan tongkat pemukul kecil dari kayu. Pola tato kemudian digambar dengan
menggunakan bahan tinta hitam dari pigmen hitam jelaga dammar dan bubuk
emas. Anak yang berbaring untuk ditato meringis di atas tanah. Mengalami
peradangan akibat tato tersebut adalah hal kecil dan biasa yang terjadi
waktu itu. Luka terus titimpa dengan jelaga dan air, sedangkan darah
yang keluar dari luka tato biasanya diseka dengan menggunakan kulit
pohon tertentu. Luka tersebut kemudian disembuhkan dengan garam sebagai
obatnya agar luka cepat kering. Setelah itu beberapa hari kemudian
muncul warna keputih-putihan pada luka tato, menyerupai kurap. Setelah
jadi warna tato agak kebitu-biruan dan tentu saja tato ini permanen
alias tidak dapat hilang. Tato pertama dikenal sebagai bunter (bulat).
Tato ini terletak pada betis dan berupa bulatan berdiameter 5 cm.
Kemudian lengan tangan ditato dengan lima pola tato lainnya, yakni
(manoek), dua di bagian dalam dan tiga di bagian luar lengan – sebuah
spiral dengan beberapa garis melengkung. Bentuk yang paling umum
dikenali dari tato manuk karena memiliki satu sayap. Pola paling kecil
terdapat di belakang pergelangan tangan. Untuk mengurangi rasa sakit
ketika ditato, mereka umumnya menerapkan tato secara bergantian
padakedua sisi.
Dari
pergelangan tangan ke bagian atas sisi atas lengan lainnya digambar 2
baris garis paralel dengan desain sebuah titik di tengahnya. Bentuknya
menyerupai sebuah tombol. Lalu terdapat juga desain (sala pimping, sala –
di antara) di antara tato manuk. Pada pergelangan tangan terdapat
desain matan poenai doehin bambang, berupa pola garis
zig-zag yang saling bertemu pada leher. Turus Usuk, (berbentuk garis
pada dada) merupakan 3 garis paralel yang saling terhubung dari
pusat/pusar naik ke bagian leher. Garis sebelah-menyebelah ini sekitar
29 sinar (rioeng) (?) pada bagian luar terdapat dua garis, Turus
Takuluk Naga, mengalir dari bagian pusar ke bagian puting. Pada kedua
bagian dada terdapat motif Naga dengan kepalanya digambarkan rahangnya
menganga lengkap denga gigi & lidah, tanpa mata dan saling
berhadapan satu dengan lainnya. Motif ini biasanya berkembang
menyerupai Palas, sejenis semak belukar. Motif Manuk Usuk dibuat pada
bagian otot leher; mirip seperti Samban – sejenis hiasan dada yang biasa
dipakai oleh pemuda dipedalaman pada sebuah tali disekeliling leher.
Bagian puting diberikan motif melingkar disebut Tambuling Tusu.
Sedangkan motif Batang Rawang berupa garis-garis yang bersambung dari
bagian cawat, sejajar dengan Turus Takuluk Naga ke bagian sendi bahu,
dimana mereka menggabungkan motif daun dan sayap – Dawen Daha (bagian
bahu). Pola ini kemudian menghiasi bagian atas lengan. Terdapat Sembilan
garis dan 22 bunga. Pola Buwuk Sapui seperti ikatan leher yang pendek
yang memiliki dua pengembangan yaitu Matan Punei dan Duhin Bambang. Dua
garis Rampai Baha mengalir dari bagian tengkuk ke arah rambut. Dikatakan
juga pola garis ini berbalik dari bagian belakang telinga, mengalir ke
atas pelipis dan berhenti dengan pola melenting pada bagian pipi. Pada
bagian tulang belakang terdapat lima garis pararel dengan motive Batang
Garing mirip seperti Turus Usuk. Pada bagian pundak digambarkan pola
garis-garis, garis silang dan bunga yang mengantung kebawah dari bagian
leher seperti rumbai-rumbai. Terdapat enam Manuk pada bagian atas
belakang.
Seorang
laki-laki tua dari Sungai Manuhing, memiliki pola zig-zag pada bagian
panggulnya disebut motif Penyang. Pada bagian belakang tangannya
terdapat lima macam pola seperti; pola S silang dengan empat garis
putus-putus pada bagian titik temunya, kemudia pola burung walet, lalu
pola salib, dll. Beberapa tidak memiliki tato sama sekali di tangannya.
Untuk para wanita Ot Danum memiliki pola dua garis pararel dengan garis
silang di tengahnya, pada bagian paha mereka memiliki pola seperti
Sambas; dari tato Bunter pada bagian betis ke bagian tumit terdapat
garis-garis berduri disebut Ikuh Bajang – pada bagian kaki kanan disebut
Bararek dan bagian kaki kiri sebut Dandu Cacah. Hanya ksatria yang akan
memiliki tato seperti dandu cacah pada bagian sendi siku disebut
Sarapang Matan Andau.
Menurut
kepercayaan orang Biaju, tato menggantikan pakain dan akan berubah
menjadi emas ketika berada di dalam Surga atau Lewu Tatau. Berikut ini
kira-kira biaya pembuatan tato pada masa itu menurut Ling Roth – Motif
Bunter 25 cent; Tukung Langit pada bagian tangan 10 cent; Turus Usuk 1
gulden; Motif 2 Naga 2 gulden; Manuk Usuk 2 gulden; Dawen Daha pada
kedua bagian pergelangan tangan 4 gulden; Bagian leher 1 gulden.
Diceritakan dalam cerita Ngaju, epic Sangiang bahwa Tempoen Teloen pada
zaman dahulu melakukan perjalanan mengelilingi dunia dan ia membiarkan
dirinya ditato di setiap tempat yang dikunjunginya menurut tradisi yang
ada ditempat/wilayah yang didatanginya. (Tempoen artinya tuan dan Teloen
adalah nama budaknya jadi Tempoen Teloen berarti Tuan dari Teloen,
Master of Teloen). Pembuatan tato biasanya dilakukan semenjak usia dini,
motif awal biasanya pada bagian betis, lengan dan dada. Dengan
meningkatnya usia individu maka praktek tato dilanjutkan, dan diperluas
ke semua bagian lain dari tubuh, sehingga ada beberapa orang yang
benar-benar tertutup dari dagu ke kaki dengan garis-garis dan gambaran
lain yang menyerupai rangkaian bunga-bunga, sedangkan wanitanya tidak di
tato. Menurut Carl Bock,[10]
dalam bukunya The Head-Huntees of Borneo, di antara orang Modang
pemberian tato tidak diizinkan untuk gadis-gadis yang belum menikah,
namun hanya khusus bagi perempuan yang sudah menikah. Sedangkan orang
Tanjoengs (Tanjung/Tunjung ?) tidak mempraktekan tato sebagai suatu
keharusan atau kebiasaan, hanya ditemukan seorang dengan pola + (tanda
tambah) pada bagian lengannya. Sedangkan pada orang Benoa (Benuaq ?)
kebanyakan laki-lakinya semuanya memiliki tato dengan tanda kecil
berbentuk ͡ ·͡ (berupa dua buah gundukan atau lengkungan seperti
busur dengan titik di tengahnya), baik itu di bagian kening, lengan atau
kaki. Praktek tato juga dilakukan oleh semua rumpun suku Kutai kecuali
orang Long Bleh; beberapa memiliki pola yang artistik dan sangat indah.
Tatonya biasanya ada pada bagian lengan, tangan, kaki, paha, dada dan
pelipis. Tato para perempuan nampak lebih indah dari pada kaum
laki-lakinya dan mereka agaknya lebih bangga menampilkan kulitnya yang
halus dan Indah. Pola-pola yang rumit dibuat oleh orang yang
profesional, terlebih dahulu ia membuat polanya pada sebuah kayu yang
kemudian menempelkan polanya pada tubuh dengan bambu yang tajam atau
jarum yang telah dicelupi pewarna. Pembuatan tato ini menyakitkan dan
memerlukan waktu yang lama dan tentu saja permanen. Pembuatan tato
dilakukan pada laki-laki ketika mereka mencapai kedewasaannya dan untuk
perempuan ketika sampai waktunya untuk menikah. Ada seorang wanita
berusia 60 tahun yang tato di bagian pahanya terlihat lebih jelas dan
terang daripada ketika tatonya dibuat sekitar 45 tahun yang lalu.
Perbedaan sub suku dan individu meskipun masih dalam suku yang sama akan
memiliki metode tato yang berbeda pula. Sebagian yang ditato hanya
bagian kening atau dada; sebagian lagi tangan dan kaki; sebagian hanya
bagian paha saja.[11]






Catatan
Carl Bock tentang kemungkinan tato Dyaks Tandjoeng dan Benoa (Tanjung/
Tunjung dan Benuaq?) Sumber: Carl Bock, The Head-Huntees of Borneo,
130, 137-139.



Motif tato tanpa keterangan. Sumber: H. Ling Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo



Sumber: C. A. L. M. Schwaner – BORNEO vol. 1



Sumber: C. A. L. M. Schwaner – BORNEO vol. 2












Hampatong (Patung) dengan motif tato Dayak Ngaju. Sumber: M21 (Mission 21)



Sedikit referensi lainnya tentang Ot Danum dan Ngaju:
Kuhnt-Saptodewo, Sri. Zum Seelengeleit bei der Ngaju am Kahayan. München: Akdemischer Verlag, 1993.
Schärer, Hans. Ngaju religion: the conception of God among a South Borneo people. Rodney
Needham, trans. (from German). (KITLV Translation Series, 6.) The Hague: Martinus Nijhoff, 1963.
Original publication: Der Gottesidee der Ngadju Dajak in Süd-Borneo (Leiden, 1946).
Sevin, Olivier. Les Dayak du centre Kalimantan: étude géographique du pays Ngaju, de lan Seruyan à la Kahayan. (Travaux et documents de l’O.R.S.T.O.M., 163.) Paris: Orstom, 1983.
Weinstock, Joseph A. “Kaharingan: life and death in southern Borneo.” In Indonesian religions in transition, edited by Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, pp. 71–97. Tucson: University of Arizona Press, 1987.
Sumber-sumber catatan untuk informasi seputar rumpun Dayak Ngaju group (di dalamnya juga melingkupi Dayak lainnya yang dianggap masuk ke dalam rumpun Dayak Ngaju group dalam pengelompokkan pada masa itu)
NGADJU GROUP
Dutch Language
Agerbeek,A.H.B. Enkele gebruiken van de Dajaksche bevolking der Pinoehlanden. Tijd., LI, 446-455. 1909.
Bangert,C, Verslag der reis in de binnenwarts gelegene streken van Doesoen Ilir. Tijd., IX, 134-218. I860.
*Becker,J.F. Het district Poelau Petak, Zuiden Oostkust van Borneo. Indisch Archief, 1849.
*——— Reis van Poelau Petak naar de binnenlanden van Borneo langs de Kapoeasrivier. Indisch Archief, 1849.
Berckel, J.M.van. lets over de Dajaks van Melintam en Njawan. Tijd. , XXVI, 423-433. 1881.
Beschrijving van het landschap Pasir. Bijd., LVIII, 532-574. 1905.
Bezemer,T. J. Pootstokken van Zuid-Bomeo. 01,1,137-139. 1939.
Bock, C. A. Reis in Oost- en Zuid-Borneo. Den Haag,1887.
Callonne, J.B.de. lets over de geneeswijze en ziekten der Daijakers ter Zuid-Oostkust
van Borneo. TNI, III, i, 419-427. 1840.
Cate,ten. Brief nopens Dajaksche beeldenzuilen. NBGKW,184. 1920.
Engelhard,H.E.D. De Afdeeling Doessonland. Bijd. ,LII, 179-222. 1901.
*Feuilletau de Bruyn,W. Aanteekeningen. KT,
XXII.
* —————————–De Njoeliebeweging in Zuidoost Borneo. KT, XXIII.
Franssen Herderschee,B.H. In de Boven-Doesoen. IG, XXVIII, i, 381-393. 1906.
*Fulgentius. Lijkverbranding bij de Dajaks. KMT, XVIII.
H. ,M. Borneo. TNI, I, i, 401-413; ii,l-25,81-102,183-200. 1838.
Habbema,D. Schetsen uit Tanah Boemboe. IG, XXX, i, 488-498″. 1908.
Halewijn,M.H. Borneo. TNI, I, i, 401-413; ii, 183-200. 1838.
Halewijn,M.H. lets over de Daijakkers (Beajous) van Banjermassiiig op Borneo. VBGKW, XIII, 279-292. 1832.
Hamer,C.den. lets over het tatoueeren of toetang bij de Biadjoe-stammen. Tijd., XXX,
451-458. 1885.
Hamer,C.den. Proeve eener vergeli jkende woordenlijst van zes in de Z.O. Afdeeling van Borneo voorkomende taaltakken. Tijd. , XXXII, 455-486. 1889.
Hartman,F. J. Beschrijving van eenen tocht naar de bovenlanden van Bandjarmassing. Kron. Hist. Gen. Utrecht, 1864.
Hens, A.M.., and Breton van Grol. Twee brieven aangaande het voorkomen van koperen martavanen bij de Ot Danoem Dajaks. NBGKW,LVI, 162-164. 1918.
Horstink,J.T. Schetsen uit Z.-O. Borneo. IG, XLVI.ii, 592-604. 1924.
Hupe,C. Korte verhandeling over de godsdienst, zeden, enz. der Dajakkers. TNI, VIII, iii, 127-172,245-280. 1845.
lets over de Daijak’s van Banjermassing. TNI, IX, i, 225-231. I846.
Loeber,J.A. Merkwaardige kokersversieringen uit de Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo.
Bijd.,LXV,40-52. 1911.
Maks,H.G. Reis langs de Kahajan, in de Zuiden Oosterafdeeling van Borneo. Tijd., VI, 6-36. 1857.
Maks,H.G. Reis naar de Kapoeas an Kahajan, in de Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo. Tijd.,X,466 558. 1861.
Mallinckrodt,H. De adat gemeenschappen in Zuid-Borneo. KS,VIII,ii, 127-156. 1924.
Mallinckrodt, J. Het adatrecht van Borneo. 2 vols. Leiden, 1928.
* Mallinckrodt, J. Het begrip Djawi bij de Dajaks van Zuid-Borneo. KT,XVI.
* Mallinckrodt, J. De dorpsofferplaats bij de Dajaks van Kotawaringin. KT,XII.
Mallinckrodt, J. Ethnografische mededeelingen over de Dajaks in de Afdeeling Koealakapoeas. Bijd.,LXXX, 397-446,521-600; LXXXI, 62-115, 165-310. 1924-1925.
* Mallinckrodt, J. Grond en waterrechten in de Onderafdeeling Boentok. KT,XV.
Mallinckrodt, J. De hoofdenrechtspraak in de onderafdeeling Boentok. KS, IX, i, 149-176. 1925.
Mallinckrodt, J. Het huwelijksrecht bij de Dajaks in de Onderafdeeling Boentok. Ti jd. ,LXVI,553-603. 1926.
Mallinckrodt, J. De Njoeli-beweging onder de Lawangan-Dajaks van de Zuider- en Oosterafdeelingvan Borneo. KS, IX, ii, 396-424. 1925.
Mallinckrodt, J. Het priesterwezen bij de Dajaks van Kota Waringin. IG,XLVII,ii, 588-602, 708-722.1925.
* Mallinckrodt, J. Reohten op grond en water in de Onderafdeeling Beneden-Dajak. KT,XI.
Mallinckrodt, J. De stamindeeling van de Maanjan-Sioeng-Dajaks. Bijd.,LXXXIII, 552-592. 1927.
Mallinckrodt, J., and Mallinckrodt-Djata.L. Het Magah liau, een Dajaksche priesterzang. Tijd.,LXVIII, 292-346. 1928.
Masthoff ,E.B. Aanteekeningen omtrent de onderafdeeling Tabalong en Kloewa. IG, X,i, 231-259. 1888.
Meijer,J.J. De Tanah-Laoet. Tijd. ,XIV, 381- 398. 1865.
Het menschenoffer in het Katingangebied. Tijd., LXXIX, 274-275. 1939.
Michielsen,W.J.M. Verslag eener reis door de bovendistricten der Sampit- en Katinganrivieren. Tijd. , XXVIII, 1-87. 1883.
Muller,S. Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel. 2 vols. Amsterdam,1857.
Nieuwenhuis,A.W. In Centraal Borneo. 2 vols.Leiden, 1900.
Nusselein,A.H.F. J, Beschrijving van het landschap Pasir. Bijd. ,LVIII, 532-574. 1905.
Opmerklngen en aanteekeningen gehouden op eene reis op de rivier van Banjermassin.TNI, XIII, ii, 17-27. 1851.
Perelaer.M.T.H. Ethnographisohe beschrijving der Dajaks. Zalt-Bommel,1870.
Pijnappel,J. Beschrijving van het westelijke gedeelte van de Zuid- en Oosterafdeeling van Borneo. Bijd. , VII, 243-346. 1859.
Potthaat,H.W.C. Bijdrage tot de kennis van de afdeeling Groot-Dajak. Tijd. , XIV, 324-329. 1865.
Radermacher,J.C.M. Beschrijving van het eiland Borneo. VBGKW, II, 43-69. 1826.
Rasser3,W,H. Naar aanleiding van eenige maskers van Borneo. NION, XIII, 35-64. 1928-1929.
Rauws.J. De Borneo-zending, 1835-1935. MNZ, LXXX,65-68. 1936.
Schutte,F.C.A.’ Beschouwingen over de onderafdeeling Midden Doesoen. TNAG,2e s., XXXIV,370-397. 1917.
Schwaner,C.A.L.M. Aanteekeningen betreffende eenige maatschappelijke instellingen en gebruiken der Dajaks van Doessoen, Moeroeng en Siang. Tijd. ,1, 201-234. 1853.
————————–Borneo. 2 vols. Amsterdam, 1853-1854.
————————–Historische, geographische en statistieke aanteekeningen betreffende Tanah Boemboe. Tijd. ,1,335-371. 1853.
Stutterheim,W.F. Een merkwasrdige talamversiering. 01,11,200-204. 1940.
Telchuij3-Wesser,N. Een tocht door Zuidoost-Borneo. AHV,LXI, 109-113. 1925.
Tichelman,G.L. De onderafdee ling Barabai. TNAG,2e s. ,XLVIII, 461-486,682-711. 1931.
Tledtke,K.W. Woordenlijst der Sampitsche en Katingansohe taal. VBGKW, XXXVI. 1872.
Tillema,H.F. Doodenpalen, tiwah en lijkverbranding op Borneo. NION, XVT, 131-155. 1931-1932.
Uittreksel uit een rapport van den Kolonel, Resident der Zuider- en Ooster-afdeeling van Borneo. Tijd. , XVT, 81-86. 1867.
Ullmann,Kapitein. Het “tiwa” der Daijaks. Tijd., XVII, 70-78. 1869.
Other Languages
Alder, W.F. Men of the Inner Jungle. London, 1923.
Beeker,T.F. The Mythology of the Dyaks. JIAEA, III, 102-114. 1849.
Bock, C. A. The Head-hunters of Borneo. London, 1923.
Garrett, T.R.H. The Natives of the Eastern Portion of Borneo and of Java. JAI,XLII, 53-67. 1912.
Grabowsky,F. Dajakisohe Sitten und religiose Gebrauche. Globus, XLII, 25-28, 44-47. 1882.
Grabowsky,F. Der District Dussun Timor in Sud-Ost Borneo und seiner Bewohner. Ausland, LVII, 444-449,469-475. 1884.
Grabowsky,F. Familie, Verwandtschaft, und Freundschaft bei den Olo Ngadju in S. 0. Borneo. Bijd., XXXVIII, 463-466. 1889.
Grabowsky,F. Gebrauche der Dajaken Sudost-Borneos bei der Geburt. Globus, LXXIIj 269-273. 1897.
Grabowsky,F. Der Hauserbau, die Dorfer und ihre Befestigungen bei den Dajaken Sudost-Borneos. Globus, XCII, 69-75. 1907.
Grabowsky,F. Musikinstrumente der Dajaken Sudost-Borneos. Globus, LXXXVIL, 102-105. 1905.
Grabowsky,F. Die Olon Lowangan in Sudost-Borneo. Ausland,LXI, 581-584. 1888.
Grabowsky,F. Die Orang Bukit Oder Bergmenschen von Mindai in Sudost-Borneo. Ausland,LVIII, 782-786. 1885.
Grabowsky,F. Der Reisbau bei den Dajaks Sudost-Borneos. Globus, XCIII, 101-105. 1908.
Grabowsky,F. Reisebriefe aus dem sudliohen Borneo. Globus, XLII, 199-201, 214-216. 1882.
Grabowsky,F. Die Theogonie der Dajaken auf Borneo. IAE,V, 116-133. 1892.
Grabowsky,F. Der Tod, das Begrabnis, das Tiwah Oder Todtenfest bei den Dajaken. IAE,II,177-204. 1889.
Grabowsky,F. Ueber Aiisserungen geistigen Lebens bei den Olo Ngadju in Sud-Ost Borneo. Bijd., XXXVIII, 144-152. 1889.
Grabowsky,F. Ueber weniger bekannte Opfergebrauche bei den Oloh Ngadju in Borneo. IAE,I, 130-134. 1888.
Hardeland,A, Da jacksch-deutsches Worterbuch. Amsterdam, 1859.
Versuoh einer Grammatik der Dajackschen Sprache. Amsterdam, 18 58,
Hiller.H.M. Manners and Customs of the People of South Borneo. BGSP, 111,51-64. 1901.
Leyden,J. Sketch of Borneo. VBGKW, VII. 1814.
LumholtzjC. Through Central Borneo. 2 vols. New York, 1920.
Meyners d’Estrey,C. Le christianisme chez les Dayaks. AE0, I, 161-162. 1878-1879.
Miller, C.C. Black Borneo. New York, 1942.
Mjoberg,E. Borneo dess land och folk. Ymer, XLVI, 323-360. 1926.
Munsterberger,W. Ethnologische Studien an indonesisohen Sohopfungsmythen. Ein Beitrag zur Kultur-analyse Sudostasiens. Den Haag, 1939.
Nieuwenhuis,A.W. Quer durch Borneo. 2 vols. Leiden, 1907.
La recente expedition scientifique dans l’lle de Borneo. Tijd. , XL, 508-541. 1898.
Provinse,J.H. Cooperative Ricefield Cultivation among the Siang Dyaks of Central Borneo. AA,XXXIX, 77-102. 1937.
Sohaerer,H. Das Mensohenoffer bei den Katinganern. Tijd. ,LXXVIII, 536-578. 1938.
Some Remarks on the Dyaks of Banjarmassing. JIAEA, I, 30-34. 1847.
Sundermann,H. Dajakkische Fabeln und Erzahlungen.Bijd. Bijd. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Den Haag. ,LXVI, 169-214. 1912.
Sundermann,H. Die Dialect der “Olon Maanjan” in Sud-Ost Borneo. Bijd. Bijd. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Den Haag. ,LXVII, 203-236. 1913.
Sundermann,H. Die Olon Maanjan und die Missionsarbeit unter denselben. AMZ. AMZ Allgemeine Missions-Zeitschrift Berlin.1899.
Sundermann,H. Religiose Vorstellungen und darauf sich grundende Sitten und Gebrauche der heidnischen Dajak auf Borneo. Bijd Bijd. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Den Haag., LXXVI, 452-482. 1920.
Weohel,P.te. Erinnerungen aus den Oat- und West-Dusun-Landern. IAE, XXII, 1-24,43-58,
93-129. 1915.
Wirz,P. Die Krankenbehandlung bei den Dajak des Siang-Landes. Ti jd. ,LXVI, 240-258.1926
*Witschi,H. Bedrohtes Volk, von den Ngadju-Dajak an der Urwaldstromen Sud-Borneos Stuttgart-Basel, 1938.
Sumber:
YALE ANTHROPOLOGICAL STUDIES
VOLUME 4
BIBLIOGRAPHY OF INDONESIAN PEOPLES
AND CULTURES
RAYMOND KENNEDY
NEW HAVEN
PUBLISHED FOR THE
DEPARTMENT OF ANTHROPOLOGY, YALE UNIVERSITY
BY THE
YALE UNIVERSITY PRESS
London : Humphrey Milford, Oxford University Press
1945
HALAMAN 93-95
[1] Charles Hose, SC.D & Shelford M.A F.LS – Materials for a Study of Tatu in Borneo (The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland Vol. 36, Jan-Jun., 1906, pp. Ix+60-91), 88
[2] Ernest B. Haddon, The Dog Motives in Bornean Art ((The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland , 1905), 157, 113
[3] Carl Lumholtz, Through Central Borneo – An Account of Two Years Travel in The Land of The Head-Hunters Between The Years 1913 and 1917, (New York: Charle Scribner’s Songs, 1920), Volume 2,
[4] Ibid, Charles Hose, SC.D & Shelford M.A F.LS – Materials for a Study of Tatu in Borneo, 80-82
[5] Bdk. Victor T. King – The peoples of Borneo (Oxford: Blackwell, 1993), 93, 99 dalam: Captain Daniel Beeckmen, “A Voyage to and from the Island of Borneo, In East Indies,” (London: T. Warner and J. Batley; Folkestone & London: Dawnson of Pall Mall, 1718), 34-66
[6] C.A.L.M Schwaner, BORNEO Vol 1 – Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito – en Reizen Langs Eenige Voorname Rivieren van het Zuid-Oostelijk Gedeelte van dat Eiland. Op last van het gouvernement van Nederl. Indie gedaan in de Jaren 1843 – 1847, (Amsterdam: Iutgegeven van wege het Koninklyke Instituut voor de taal land en volkenkunde van Nederl – Indie. P.N. VAN KAMPEN, 1853), 127
[7] C.A.L.M Schwaner, BORNEO Vol 2, 79
[8] Op Cit, Carl Lumholtz, Through Central Borneo Vol. 2
[9] Op Cit, Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo, 93-95
[10] Carl Bock, The Head-Huntees of Borneo: a Narrative of Travel Up The Mahakkam and Down The Barito also Joueneyings in Sumatra, (London: Sampson Low, Marston, Searle, Rivington,1882), 67, 130, 139.
[11] Henry Ling Roth – The Natives of Sarawak and British North Borneo, (London: Truslove & Hanson, 1896), Vol. 2, 83-95; Ibid, Carl Bock, The Head-Huntees of Borneo, 189-190.
Penulis | : | Metusalakh Rizky Nayar |
Editor | : | Akhmad Zailani |







